Senin, 02 Juni 2008

Dimensi Penataan Ruang dan Lingkungan


Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang diartikan sebagai wujud struktural ruang dan pola ruang, sedangkan penataan ruang diartikan sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dari pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa rencana tata ruang merupakan sesuatu yang urgen dalam proses pembangunan. Dalam rangka efektifitas dan efesiensi pemanfaatan ruang rencana tata ruang yang telah disusun dapat menjadi pola dan acuan dalam penyusunan program-program pembangunan di daerah. Penataan ruang bertujuan agar terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan, pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budidaya, serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.

Kalau melihat fenomena yang terjadi di daerah-daerah sekarang ini menunjukkan bahwa tata ruang yang ada di Indonesia pada umumnya belum dimanfaatkan sebagai pola, acuan dan alat kontrol dalam proses pembangunan tetapi sebagai legalitas/pengesahan bagi tindakan pemerintah. Penataan ruang berada diantara aspek lingkungan dan kepentingan publik dengan aspek komersial, dan pemerintah cenderung memenangkan aspek komersial tersebut. Hal ini didukung dengan kesalahan pemerintah daerah dalam memaknai otonomi daerah dengan upaya bagaimana meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan PDRB daerah sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan pemerintah di daerah. tidak mengherankan jika banyak ruang-ruang publik yang berfungsi sebagai paru-paru kota, jalur hijau kota bahkan kawasan lindung dialihfungsikan sebagai tempat usaha tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung daerah tersebut.

Penataan ruang hendaknya mengutamakan keseimbangan antara sector public, private dan keberlangsungan lingkungan hidup.

Dalam perencanaan penataan ruang di Indonesia, banyak hal yang dapat menjadi pertimbangan agar rencana tata ruang yang disusun benar-benar mampu memberikan warna, pola dan menjadi acuan dalam pemanfaatan ruang sehingga efektifitas dan efisiensi pemanfaatan ruang akan dapat tercapai. Beberapa hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu produk tata ruang yaitu:

1) Dalam perencanaan tata ruang hendaknya mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan aspek lainnya diluar aspek fisik. Selama ini rencana tata ruang masih cenderung mengutamakan aspek fisik dalam artian masih berkaitan dengan pola penggunaan lahan, sistem infrastruktur, dan lainnya. Sedangkan aspek-aspek lainnya belum dapat tercover dalam rencana tata ruang yang ada antara lain aspek sosial budaya masyarakat sekitar, sehingga terkadang suatu rencana secara fisik dapat dilaksanakan namun bertentangan dangan budaya masyarakat sekitar. Untuk itu pelibatan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang mutlak dilaksanakan.

2) Penyusunan rencana tata ruang kota hendaknya mampu mengcover dan mengakomodir semua kepentingan stake holder dan tidak bersifat paternalistik yang senantiasa mengedepankan dan mengutamakan kepentingan para elite daerah, sehingga rencana tata ruang yang ada menyesuaikan dengan kepentingan-kepentingan yang hanya menguntungkan segelitir orang saja. Tidaklah mengherankan jika aturan yang berisikan struktur tata ruang daerah dapat dirubah dalam waktu sekejap dengan kesepakatan bersama antara elite legislatif dan eksekutif daerah.

3) Rencana tata ruang yang ada hendaknya dapat lebih mendetail sehingga dapat menjadi acuan dalam pemanfaatan ruang yang ada. Saat ini rencana tata ruang umumnya masih bersifat general sehingga sering kali menimbulkan kesalahan penafsiran dalam melihat suatu struktur tata ruang yang ada, dengan sifat general itu dapat dijadikan celah dalam mengelabuhi aturan yang ada sehingga kegiatan yang dilaksanakan diruang tertentu dapat dilegalitaskan.

4) Rencana tata ruang daerah hendaknya dapat menunjukkan warna dan karakter tersendiri dari suatu daerah, hal ini berkaitan dengan kemampuan sumber daya daerah yang ada. Sekarang ini banyak rencana tata ruang yang sifat dan polanya cenderung seragam, hal ini terjadi dimana dalam penyusunan rencana tata ruang suatu daerah mempergunakan rencana tata ruang daerah lain sebagai acuan dan perbandingan bukannya menggali dan mengangkat potensi yang dimiliki daerahnya.

5) Rencana tata ruang merupakan sesuatu yang umum sifatnya (dokumen publik) dan berhak untuk diketahui oleh semua kalangan tidak hanya terbatas kepada beberapa orang saja. Sifat sakral dan rahasia yang selama ini dimiliki suatu produk rencana merupakan kesalahan besar, hal ini berakibat kepada ketidaktahuan masyarakat akan suatu perencanaan penataan ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah, hal ini terkadang berakibat kepada munculnya konflik antara masyarakat dengan pemerintah itu sendiri. Terkadang staf di pemerintahan yang membidangi perencanaan juga tidak mengetahui dan memahami rencana tata ruang daerah yang ada, biasanya perencanaan yang ada sifatnya hanya bersifat problem solving dan meneruskan aspirasi masyarakat belum ada yang mempertimbangkan keberadaan ruang dan dukungan lingkungan yang ada.

6) Suatu produk rencana tata ruang hendaknya memiliki suatu kekuatan hukum tetap sehingga penyelewengan dari pelaksanaan ketentuan yang ada dalam rencana tata ruang itu dapat dikenai sanksi. Akibat dari tidak adanya kekuatan hukum serta adanya sifat flesibellitas yang dimiliki rencana tata ruang menjadikan rencana tata ruang yang ada disalahgunakan dan dikendalikan untuk mengikuti trend yang ada baik oleh kekuatan pasar maupun kepentingan elite daerah. Terkesan bahwa rencana tata ruang yang ada mengikuti perkembangan dan pembangunan yang terjadi, bukan sebaliknya dimana rencana tata ruang dijadikan pola, acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pembangunan.

7) Perlunya pelibatan masyarakat dalam proses penataan ruang daerah, dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah diatur mengenai keikutsertaan masyarakat dalam penataan ruang dengan harapan bahwa akan dapat menampung aspirasi dan mengakomodir kepentingan masyarakat, selain itu juga dapat menjadi suatu alat kontrol terhadap konsistensi pemerintah dalam melaksanakan rencana tata ruang daerah yang telah ditetapkan. Namun dalam implementasinya yang selama ini terjadi adalah bahwa produk rencana hanya merupakan milik perencana dan penguasa daerah, masyarakat jangankan memahami untuk melihat saja suatu produk tata ruang tidak dimungkinkan. Maka jangan salahkan masyarakat jika mereka melanggar tata ruang yang ada karena mereka tidak mengetahui rencana tata ruang yang ada.

Dengan adanya pemahaman dan keinginan pemerintah untuk melaksanakan rencana tata ruang yang ada serta dengan dukungan seluruh stake holder dimasa mendatang diharapkan akan ada suatu keseimbangan antara pelaksanaan rencana tata ruang dengan tata lingkungan.

Melangkah ke Arah Perencanaan Partisipatif

Di masa pemerintahan orde baru paradigma otonomi daerah yang berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang lebih menekankan kepada asas dekonsentrasi dari pada asas desentralisasi telah memberikan dampak yang cukup besar dalam proses penyusunan perencanaan di daerah. Pada waktu itu peran pemerintah pusat cukup kuat melalui top down planning-nya yang terkadang mematikan aspirasi yang berkembang di masyarakat untuk ikut serta dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan di daerah, namun hal positif yang dapat diperoleh pada waktu itu adalah angka partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang cukup tinggi salah satunya melalui pelaksanaan program Inpres Bangdes (Inpres Pembangunan Desa) yang menekankan kepada upaya peningkatan swadaya masyarakat dalam pembangunan daerahnya.

Pada masa setelah reformasi, dimana kran demokrasi dibuka, dan kondisi ini telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam perubahahan paradigm otonomi daerah di Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah yang sebelumnya lebih menekankan kepada penerapan asas dekonsentrasi dirubah dengan lebih menitikberatkan kepada asas desentralisasi. Dengan perubahan ini maka daerah diberi keleluasaan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan Aspirasi yang berkembang di daerah dan berdasarkan kemampuan dan potensi yang tersedia pada wilayah tersebut. Dengan perubahan paradigm otonomi daerah ini memberikan dampak kepada perubahan sistem penyusunan perencanaan daerah yang lebih banyak mengharapkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan di daerah. Dari keseluruhan proses perencanaan yang dilaksanakan, partisipasi masyarakat telah menjadi suatu keharusan, sehingga pemerintah menganggap hal ini perlu diatur dalam suatu produk hukum baik berupa peraturan pemerintah, perundang-undangan maupun peraturan daerah. Pemerintah telah menetapkan kegiatan musyawarah pembangunan daerah atau musrenbangda sebagai sarana untuk melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan di daerah. Melalui forum musrenbang ini diharapkan akan terjadi sinkronisasi antara bottom up planning dengan top down planning sehingga akan diperoleh suatu produk perencanaan yang berimbang antara aspirasi dan kebutuhan masyarakat dengan keinginan pemerintah.

Memasuki awal tahun 2008 ini, merupakan tahapan awal pelaksanaan siklus perencanaan pembangunan daerah yang dimulai dengan pelaksanaan musyawarah pembangunan daerah (musrenbang) pada tingkat kelurahan. Sebagai mana diketahui bahwa pelaksanaan musrenbang dilakukan secara berjenjang yang dimulai pada tingkat kelurahan, kecamatan, kota, propinsi hingga tingkat nasional. Pelaksanaan musrenbang di daerah ditujukan untuk memperoleh masukan, saran dan pendapat dari para stakeholder sebagai masukan (input) berkaitan dengan penyusunan rencana pembangunan daerah baik untuk jangka pendek, menengah hingga jangka panjang. Khusus untuk penyusunan rencana tahunan menjadi perhatian utama mengingat keterlambatan pelaksanaan musrenbang akan berakibat berantai kepada keterlambatan pengesahan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) di tingkat legislatif yang selanjutnya mempengaruhi ketepatan waktu pelaksanaan pembangunan daerah sesuai dengan time schedule yang telah direncanakan.

Bila dilihat dari sejarahnya, dasar partisipasi didalam perencanaan publik telah berubah. Pada awalnya penyusunan rencana pembangunan melalui forum rembug warga (community planning) yang ada di desa, kampung atau huta lebih diarahkan kepada pemenuhan kepentingan umum yang dilandasi dengan semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Pada saat ini proses penyusunan perencanaan di daerah tidaklah didasari kepada factor kebutuhan namun lebih didominasi dan dilatarbelakangi kepada factor keinginan dan kepentingan perorangan maupun kelompok tertentu, selain itu juga kepentingan politis terkadang bermain dibalik penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sehingga kepentingan umum yang sangat prioritas dan mendesak menjadi dikesampingkan. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya keluhan yang disampaikan berkaitan dengan masih sedikitnya produk perencanaan yang disusun melalui forum musrenbang di tingkat desa/kelurahan yang ditampung dalam anggaran pembangunan daerah.

Namun kesalahan tersebut tidak dapat sepenuhnya dialamatkan kepada pemerintah daerah selaku pelaksana pembangunan di daerah. Dalam konteks penyusunan perencanaan di tingkat kelurahan melalui forum musrenbang sangat banyak usulan yang disampaikan masih sangat mentah dan membutuhkan perbaikan baik secara teknis, administrasi maupun kepastian hukum terhadap lahan dimana lokasi usulan kegiatan tersebut disampaikan. Hal ini lebih disebabkan karena forum musrenbang dianggap masyarakat sebagai forum untuk menyampaikan aspirasi, keluhan dan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Belum adanya pemahaman masyarakat dan aparatur pemerintahan mengenai penyusunan perencanaan yang baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah serta ketentuan yang berlaku. Padahal musrenbang merupakan forum multi-pihak yang terbuka dan secara bersama mengidentifikasi dan menentukan prioritas kebijakan pembangunan masyarakat yang berfungsi sebagai proses negosiasi, rekonsiliasi dan harmonisasi perbedaan antara pemerintah dan para stake holder (non-pemerintah), sekaligus mencapai konsensus bersama mengenai prioritas kegiatan pembangunan berikut penganggarannya.Sudah saatnya proses Perencanaan yang dilaksanakan kita kembalikan kepada prinsip kekeluargaan dan kebersamaan yang dilakukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat melalui pendekatan akar rumput (grassroot) yang ditujukan untuk menumbuhkan rasa memiliki masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan yang berbasis masyarakat, mengembangkan dan memelihara lembaga-lembaga demokrasi, mengurangi konflik kepentingan serta dalam rangka mencapai tujuan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Untuk itu perencanaan hendaknya tidak lagi didominasi oleh para ahli teknis. Tugas para perencana saat ini adalah untuk menentukan siapa yang harus terlibat, bagaimana keterlibatan mereka, fungsi apa yang dipegang oleh masyarakat dan bagaimana menyesuaikan sebuah metode perencanaan ke dalam proses yang melibatkan berbagai kepentingan dan kelompok yang ada di masyarakat. (by:h@liem).

PUISI BINTANG


FAJAR MULAI MENYAPA, TAPI MATA BELUM TERPEJAM JUA

RASANYA BAGAI MENUNGGU BINTANG JATUH…

TAPI, MANA MUNGKIN… SEHARIAN KELAM

AKU HANYA MENDENGAR NYANYIAN KODOK

DAN RINTIK HUJAN ….

BINTANG SUDAH JANJI UNTUK JATUH MALAM INI

TAPI……. MENDUNG….

APA BINTANG BISA JATUH KALAU MENDUNG….

MUNGKIN BISA, TAPI… TIDAK NAMPAK

SEPERTINYA BINTANG LUPA KALAU JANJI MENYAPAKU

AKU MASIH MENUNGGU BINTANG JATUH

HEMMMM……. SEPI

ANGIN BERHEMBUS KENCANG

BINTANGNYA TIDAK AKAN JATUH

DIA TELAH TERTIDUR PULAS BERSELIMUT MENDUNG

AKU AKAN MENUNGGU…….

UNTUK MALAM-MALAM YANG LAIN

SEMOGA BINTANG AKAN JATUH….

DAN AKU AKAN TERUS MENUNGGU….

BINTANG TETAP BERPIJAR WALAUPUN MENDUNG

WALAU SIANG, WALAU TERTUTUP AWAN

ITULAH HIDUP

DAN….

BINTANG TETAP BINTANG BAGIKU

By: Sutiyani

Senin, 26 Mei 2008

KEBIJAKAN PROMOSI JABATAN DI BIROKRASI TINGKAT LOKAL

Tulisan ini merupakan hasil penelitian Penulis tentang “Kebijakan Promosi Jabatan di Birokrasi Tingkat Lokal”, yang merupakan kajian terhadap penerapan sistem merit (merit system) dalam kebijakan promosi jabatan di daerah. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan daerah untuk menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance) dengan didukung aparatur pemerintahan yang memiliki kecakapan dan kemampuan untuk dapat menjalankan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Berdasarkan argumentasi diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pertama, sejauh mana sistem merit (merit system) dapat diterapkan dalam kebijakan promosi jabatan di daerah; kedua, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerapan sistem merit (merit system) dalam kebijakan promosi jabatan tersebut.

Penerapan sistem merit (merit system) yaitu adanya kesesuaian antara kecakapan yang dimiliki seorang pegawai dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, meliputi tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal/diklatpim, pendidikan dan latihan teknis, tingkat pengalaman kerja, dan tingkat penguasaan tugas dan pekerjaan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem merit (merit system) dalam kebijakan promosi jabatan di daerah meliputi regulasi, kontrol eksternal dan komitmen pelaku. Dalam Penelitian ini dipergunakan jenis penelitian deskriptif dengan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui pengumpulan data dokumenter, observasi, wawancara, dan kuisioner.

Hasil analisis terhadap penerapan sistem merit (merit system) dalam kebijakan promosi jabatan di daerah secara umum menunjukkan bahwa masih banyak kebijakan promosi jabatan di daerah yang bertentangan dengan prinsip sistem merit. Dari hasil penelitian terhadap tingkat kesesuaian antara pendidikan formal dengan jabatan yang diduduki, kesesuaian tingkat pendidikan non formal/diklatpim dengan jabatan yang diduduki, kesesuaian tingkat pendidikan dan latihan teknis dengan jabatan yang diduduki, kesesuaian tingkat pengalaman kerja dengan jabatan yang diduduki, dan kesesuaian tingkat penguasaan tugas dan pekerjaan dengan jabatan yang diduduki, menunjukkan masih banyak ketidaksesuaian dalam penempatan pejabat eselon di daerah. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem merit (merit system) dalam kebijakan promosi jabatan dari hasil analisis memperlihatkan bahwa faktor regulasi cukup baik walaupun pengaturan promosi jabatan dalam bentuk peraturan daerah masih belum ada, pelaksanaan promosi jabatan didasarkan kepada peraturan pemerintah pusat. Untuk kontrol eksternal baik yang dilakukan oleh lembaga legislatif daerah, lembaga swadaya masyarakat maupun pers daerah menunjukkan masih lemahnya peran kontrol dari lembaga-lembaga tersebut ini sebagai akibat rendahnya peran, fungsi dan dukungan lembaga-lembaga tersebut dalam penerapan sistem merit (merit system) dalam promosi jabatan di daerah. Sedangkan untuk faktor komitmen pelaku cukup berperan dalam penerapan promosi jabatan di daerah, ini terlihat dari adanya keinginan pemerintah daerah untuk menegakkan peraturan dan ketentuan yang ada dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan sehari-hari yang diperlihatkan dengan tingkat disiplin kerja, produktifitas kerja, dan kreativitas kerja pegawai yang cukup baik serta dijadikan salah satu pertimbangan dalam proses promosi jabatan.

Dari hasil analisis diatas ada beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan dan saran, yaitu; pertama, Dalam promosi jabatan hendaknya tidak hanya memandang tingkat pendidikan formal dan senioritas kepangkatan sebagai patokan, namun juga mempertimbangkan faktor kemampuan, pengalaman dan prestasi kerja yang ditunjukkan oleh seorang pegawai. Hal ini sesuai dengan prinsip sistem merit (merit system) yaitu adanya kesesuaian antara faktor kecakapan yang dimiliki pegawai dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya; kedua, selain penilaian dan pertimbangan yang dilakukan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat), perlu adanya proses seleksi (fit and profer test) dalam promosi jabatan yang dilakukan secara terbuka dan trasparan sehingga akan diperoleh pejabat-pejabat yang benar-benar kapabel dan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya; ketiga, perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai promosi jabatan dalam bentuk peraturan daerah yang disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang ada di daerah dengan lebih mengutamakan prinsip the right man on the righ place dalam meningkatkan efektifitas dan efesiensi kerja; keempat, perlu adanya keterlibatan lembaga-lembaga kontrol eksternal (lembaga legislatif daerah, lembaga swadaya masyarakat dan pers daerah) dalam penerapan sistem merit pada kebijakan promosi jabatan di daerah sehingga akan memunculkan sikap transparan dari pemerintah dalam menetapan pejabat yang duduk dijajaran birokrasi daerah; kelima, perlu untuk lebih meningkatkan semangat kerja dan disiplin kerja dengan memberikan insentif-insentif bagi para pegawai yang berprestasi, menciptakan suasana kompetisi kerja yang sehat antara sesama pegawai serta tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas.

By: H@liem (Tugas Akhir Penulis ketika mengambil Pendidikan Strata S-1 Fisipol UGM Yogyakarta; 2002)